Akhirnya, setamat SMA, ia beranjak ke pulau seberang untuk berkuliah di sebuah universitas favorit. Ia pergi dengan luka kecewa yang kukira masih membekas di hatinya atas penolakanku yang dusta. Dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihatnya, entah di dunia nyata ataupun dunia maya. Ia seperti menghilang atau sengaja bersembunyi dariku.
Sungguh, aku menyesal atas apa yang telah terjadi di antara kami. Andai waktu bisa diulang, aku akan kembali di hari pernyataan cintanya itu, lantas memberikan respons yang sejujur-jujurnya, bahwa aku pun mengidamkannya. Bahwa aku candu terhadap kulitnya yang sawo matang, rambutnya yang berombak, matanya yang bulat, pipinya yang berlesung, giginya yang bergingsul, tubuhnya yang berisi, dan juga hatinya yang baik.
Seandainya saja aku sanggup memperturut kata hatiku dan mengabaikan anggapan orang-orang di saat itu, kami pasti telah menjadi sepasang kekasih yang saling membahagiakan. Tetapi sayangnya, semua telah terjadi, dan aku hanya bisa menyesali. Hingga akhirnya, sampai kini, aku terus hidup di dalam kepelikan. Aku masih memendam perasaanku kepadanya, ketika aku telah menghancurkan perasaannya kepadaku.
Discussion about this post