Ruang hati tak berwarna. Selera selalu lepas dari pendapat orang lain. Begitulah yang kurasakan saat aku jatuh hati kepada seorang teman sekelasku di bangku kelas III SMA. Aku menyukainya, sebagaimana ia adanya. Aku mengharapkannya untuk menjadi pendamping hidupku, meski orang-orang memandangnya dengan sebelah mata.
Tetapi wujud sikapku, ternyata tak bisa merdeka dari egoku untuk tetap menjaga gengsi di tengah khalayak. Aku jelas sangat mengidamkannya, tetapi aku enggan untuk berkata jujur, sebab aku khawatir kalau orang-orang menghinakan harga diriku. Aku takut mereka merendahkanku, sebagaimana mereka merendahkan sang idamanku.
Hingga akhirnya, aku terperangkap di tengah kebimbangan. Pada satu hari, tepat tanggal 14 Februari, di ruang kantin yang hanya dihuni oleh aku dan dua orang teman baikku, tiba-tiba, sang pujaanku datang ke meja makanku. “Hai,” sapanya, dengan senyuman singkat yang canggung, sambil tetap berdiri di sampingku.
Discussion about this post