…”Pekerja dengan seragam montir mengangguk, seperti hormat, jika berpapasan dengan pria pertengahan tiga puluh ini. Tapi terdengar orang-orang bersiul ketika mereka sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya” (Utami, 1998: 9)
…Sejak kecil, ia dibentuk orangtuanya untuk menghabiskan waktu dengan hal yang produktif. Ibunya memaksanya kursus balet, piano, berenang, dan bahasa Inggris sejak kelas 2 SD, dan ia menjadi serba bisa. Ia tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Kadang ia malah mengerjakan pekerjaan sekolah di rumah, sebelumnya. Pengetahuannya yang luas kadang membuat dia menjadi teman bicara yang melelahkankarena ia suka memborong pembicaraan… (Utami, 1998: 149-150).
Kutipan diatas memperlihatkan bahwa perempuan juga bisa melakukan apa saja tanpa bergantung pada laki-laki. Budaya patriarki menempatkan kaum laki-laki sebagai penguasa dan kaum perempuan adalah manusia kelas dua yang harus tunduk kepada laki-laki. (Halizah & Faralita, 2023: 21). Namun siapa sangka, sekarang sudah banyak perempuan yang sukses bahkan melebihi kaum laki-laki. Perempuan juga bisa bekerja layaknya laki-laki. Bahkan karakter Laila membuktikan bahwa ia sebenarnya bisa bekerja di perusahaan yang didominasi oleh tenaga laki- laki. Di sana ia dapat mengerjakan proyeknya secara sebagai fotografer. Pekerjaannya lumayan ekstrim karena melihat latar tempatnya yang berada di dasar laut tepatnya di rig pengeboran minyak. Hebatnya wanita manis ini bisa menyelesaikan proyeknya dengan baik. Ia bekerja keras demi keinginannya. Melalui tokoh Laila ini kita bisa membuktikan bahwa dirinya ini mampu mendobrak budaya patriarki dan menujukkan bahwa perempuan juga bisa mendapatkan pekerjaan yang setara dengan laki-laki.
Discussion about this post