Memang, sayangnya, manuskrip dan catatan sejarah yang mungkin menjelaskan lebih detail mengenai asal-usul dan perkembangan awal Kampung Naga banyak yang musnah.
Peristiwa pembakaran kampung ini pada masa pemberontakan DI/TII di tahun 1956, menjadi titik kelam yang menghanguskan banyak peninggalan berharga, termasuk catatan sejarah tertulis. Sehingga, informasi sejarah yang tersedia saat ini lebih banyak bersumber dari penuturan para sesepuh dan kuncen (juru kunci adat) yang mewariskannya secara lisan dari generasi ke generasi.
Nama “Naga” sendiri, menariknya, tidak merujuk pada makhluk mitologi bersayap. Berdasarkan etimologi lokal, nama ini diyakini berasal dari frasa Sunda “Na Gawir” yang berarti “di jurang” atau “di lembah”. Penamaan ini sangat relevan dengan kondisi geografis Kampung Naga yang memang terletak di sebuah lembah curam di tepi sungai.
Discussion about this post