Pemerintah Republik Indonesia resmi menganggap TPNPB sebagai teroris. Keputusan pemerintah tersebut sudah disesuaikan dengan undang-undang yang mengatur soal teroris. Implikasi yuridis terhadap keputusan pelabelan itu pun sangat besar. Setidaknya pihak Polri akan menjadi leading sector dalam menegakkan law and order di wilayah Papua. Polri harus segera mengambil langkah Collaborative Policing yaitu penggabungan antara High Policing dan Low Policing.
Terdapat sejumlah konsekuensi setelah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dinyatakan sebagai organisasi teroris.
Pertama, ujung tombak penanganan kasus adalah Polri, dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88). Densus 88, bisa menangkap siapa saja yang setuju atau mendukung aksi kelompok bersenjata di Papua, termasuk via Twitter. Misalnya, Densus 88 harus dapat menangkap Veronica Koman yang selama ini mendukung KKB di Twitter atas dugaan terorisme, sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kedua, polisi akan menghadapi medan tempur baru yang seharusnya ditangani oleh TNI jika harus menangkap anggota kelompok teroris OPM. Kemampuan tempur di hutan belantara ini tidak dimiliki oleh polisi yang umumnya terbiasa menangani kejahatan di perkotaan secara scientific investigation.
Implikasi ketiga, terhapusnya opsi negosiasi atau membuat perjanjian damai dengan teroris. Solusi dialog menjadi tertutup dengan adanya keputusan pemerintah ini.
Discussion about this post